Latar Belakang / Raison D’etre

“Restorasi Indonesia adalah perubahan mindset masyarakat dari kepura-puraan menjadi keterusterangan
Surya Paloh
Kalimat di atas menjadi gugatan epistemologis di masa sekarang. Dimana politik penuh sesak dengan citra yang menjungkirbalikan akal sehat dan fakta yang sebenarnya. Bagi Liga Mahasiswa NasDem, kalimat di atas adalah azimat, pertanda bahwa kinilah saatnya organisasi gerakan mahasiswa menegaskan jati dirinya sebagai bagian dari gerakan perubahan yang mendedikasikan jiwa dan raganya dengan kekuatan politik.
Istilah-istilah sebagai gerakan moral (moral force), agen perubahan, kekuatan independen, adalah slogan-slogan buah dari politik “tipu muslihat” penguasa terhadap kekuatan mahasiswa. Politik “organisasi resmi” yang diakui oleh pemerintah dengan NKK/BKK dan SMPT di lingkungan kampus, misalnya, telah menjauhkan kekuatan mahasiswa dari kehidupan politik. Mereka menjadi berjarak dengan politik. Mereka menjadi apolitik bahkan anti-politik.
Kenyataan itu dimulai sejak lebih dari empat dasawarsa lamanya, saat Orde Baru lahir pada tahun 1966. Padahal sejak Maklumat X yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohamat Hatta pada 1948, gerakan mahasiswa terlibat dalam praktek demokrasi. Mereka terafiliasi dengan berbagai partai politik. HMI dengan Masyumi, GMNI dengan PNI, CGMI dengan PKI, dan lain-lain. Mereka menjadi ruang kaderisasi bagi partai-partai tersebut; mereka menjadi kawah candradimuka bagi organisasi politik saat itu. Hasilnya adalah kehidupan politik yang berkualitas, dewasa, dan jauh dari praktik-praktik yang membodohkan masyarakat.
Meski tidak stabil, akan tetapi praktek politik saat itu penuh dengan bangunan nilai (value), sarat dengan keutamaan sikap (virtue) dan etika (ethic), yang berguna bagi kemajuan peradaban manusia. Bandingkanlah itu dengan kenyataan politik saat ini. Hal tersebut tidak berlebihan mengingat gerakan mahasiswa yang dulu dikenal dengan gerakan pemuda-pelajar berbaur dengan kekuatan bersemangat kemerdekaan lainnya. Seperti gerakan-gerakan lainnya, mereka lahir dari suasana negeri yang membutuhkan gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka bahkan menjadi bidan bagi lahirnya partai-partai politik. Inilah yang menyebabkan mereka tidak berjarak dengan kekuatan-kekuatan politik saat itu.
Gelombang Deideologisasi, Depolitisasi, dan Deorganisasi
Kondisi yang terjadi pada era Orde Lama sangatlah berbeda dengan pada Era Orde Baru yang represif. Pada era Orde Baru, gerakan kaum terpelajar cenderung terpisah dengan gerakan politik. Dalih stabilitas politik melahirkan organisasi-organisasi tunggal yang diakui oleh negara. Di tingkat kampus, pemerintah hanya mengakui Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) sebagai satu-satunya lembaga mahasiswa di tingkat kampus. Kebijakan ini adalah bentuk represi terhadap kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpolitik bagi mahasiswa. Pada saat bersamaan, kebebasan berekspresi bagi mahasiswa hanya diakomodir sebatas pada kegiatan hobisme lewat dibentuknya UKM-UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa).
Buah dari politik tersebut adalah munculnya organisasi-organisasi tandingan dengan label independen. Mereka independen dari kepentingan apapun. Mereka tidak berada dibawah kuasa negara, mereka juga lepas dari kekuatan politik manapun. Dalam lingkungan kampus, muncul kemudian istilah organisasi intra dan ekstra kampus. Yang intra diakui oleh negara, sementara yang ekstra adalah independen. Yang intra melulu terkungkung pada kegiatan sosial dan kemahasiswaan, sementara yang ekstra terbakar oleh semangat tanpa nalar, hingga kalap dengan menolak segala yang berhubungan politik praktis. Mereka terjebak dalam gerakan moral yang sloganistis, yang justru sering disalahgunakan oleh kepentingan-kepentingan yang bersembunyi dalam jargon independen tadi. Inilah yang melahirkan kenyataan politik hari ini. Politik depolitisasi Orde Baru selama lebih dari 33 tahun telah berpilin-berjalin dengan euphoria 1998 yang gagap sehingga melahirkan demokrasi yang terbata-bata, bahkan hingga 13 tahun Reformasi berjalan.
Namun demikian, Gerakan Reformasi yang notabene dimotori oleh gerakan mahasiswa hanya berhasil melakukan pergantian kekuasaan nir pergantian rejim. Hal ini adalah efek dari ‘arogansi sektoral’ gerakan mahasiswa yang cenderung ‘emoh politik ‘ karena tidak membangun korespondensi dengan partai-partai politik. Mereka cenderung menjaga jarak dengan partai-partai politik dan alergi dengan perjuangan politik parlementer. Alhasil, gerakan perubahan tidak kunjung menemu hasil karena perjuangan politik dikerdilkan menjadi sebatas gerakan slogan dan demonstrasi belaka.
Alhasil, kaum intelektual organis yang kritis yang seharusnya mengisi struktur-struktur partai ataupun pemerintahan, kini hanya berserak di jalanan dan hanya menjadi penonton betapa partai dan pemerintahan kita saat ini diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten, korup, dan sama sekali tidak  memiliki visi kebangsaan.
Kaderisasi Politik
Pahitnya, dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, kita terus dan masih dihadapkan pada kenyataan politik kita yang penuh dengan muslihat dan praktik-praktik yang membodohkan. Politik transaksional, politik sandera, politisi instan, dinasti politik, yang bermuara pada korupsi, penyalahgunaan wewenang, persekongkolan, dan sejenisnya, adalah buah dari tidak adanya ruang kaderisasi yang memadai dalam tubuh partai selama ini. Mereka yang menjadi tokoh, fungsionaris, pengurus, hingga calon anggota legislatif dan kepala lembaga eksekutif adalah mereka yang tidak memiliki kualifikasi sebagai manusia politik.
Hanya bermodal dana berlimpah dan pengaruh, seseorang bisa menjadi calon atau tokoh penting sebuah partai. Hanya karena faktor kedekatan, seseorang bisa menjadi pengurus partai. Partai akhirnya hanya menjadi  “agen” yang menyediakan tiket bagi mereka yang menginginkan jabatan dan kekuasaan. Partai menjadi sekadar dinasti baru dari sebuah kekuatan politik bagi trah keluarga tertentu. Partai tidak melahirkan kader-kader mumpuni, kader-kader yang punya integritas, dan kader-kader yang teruji dan penuh dedikasi. Hingga akhirnya, muara dari semua ini adalah malpraktik lembaga-lembaga publik yang akut, baik di partai maupun pemerintahan.
Kenyataan inilah yang mendasari lahirnya Liga Mahasiswa NasDem: sebuah perkumpulan mahasiswa yang menyadari pentingnya menghidupkan kembali gerakan mahasiswa yang tengah mati suri. Gerakan mahasiswa yang berniat merestorasi semangat gerakan pemuda-pelajar dulu, yang sadar bahwa politik adalah alat memajukan peradaban manusia.
Belajar, Berpartai, dan Berbakti
Inilah takdir sejarah lahirnya gerakan Restorasi Indonesia di ranah mahasiswa. Inilah saatnya kaum terpelajar mengembalikan kewibawaan dan kehormatan politik yang coreng-moreng oleh para bandit dan petualang politik. Kaum terpelajar harus kembali mendekat dan mengembalikan kehormatan politik Indonesia. Kaum terpelajar harus kembali menjadi produsen utama manusia-manusia politik Indonesia.
Liga Mahasiswa NasDem, sesuai namanya, adalah organisasi gerakan mahasiswa yang tanpa tedeng aling-aling, tanpa berpura-pura, menyatakan dirinya bagian dari Gerakan Restorasi Indonesia.
Liga Mahasiswa NasDem, bukanlah sayap, bukan underbow, bukan pula sarana mobilisasi massa dari Partai NasDem. Lebih dari itu, Liga Mahasiswa Nasdem adalah  tulang punggung (backbone) dari Partai NasDem, sebagai ruang penempaan dan pendidikan bagi calon-calon kadernya.
Liga Mahasiswa NasDem, sesuai dengan motonya: Belajar, Berpartai, Berbakti, ingin menjadi pelopor dan pendobrak bagi kegamangan gerakan mahasiswa dewasa ini, yang hidup segan mati tak mau; yang malu-malu untuk menyatakan dirinya sebagai bagian dari kekuatan partai politik tertentu; yang hanya berjuang dalam semangat mobilisasi semata; yang hanya mencetak kader-kadernya menjadi petualang politik belaka.
Liga ini mengajak kepada seluruh mahasiswa Indonesia, dari Papua hingga Aceh, untuk belajar menggali potensi diri dan melakukan aksi-aksi nyata dalam seluruh aspeknya: sosial, politik, ekonomi, seni dan budaya, hingga minat dan bakat, sebagai wujud pengabdian pada bangsa dan negara. Semua aktivitas itu beraras pada visi Restorasi Indonesia.
Liga Mahasiswa Nasdem bukanlah organisasi mahasiswa yang hanya sibuk dengan dunia kampus atau persoalan akademik belaka. Liga Mahasiswa Nasdem ingin mengembalikan peran intelektual organis mahasiswa untuk terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan rakyat. Liga Mahasiswa Nasdem ingin mencetak kader-kader yang berbakti kepada rakyat, yang mendarma-baktikan keahlian mereka untuk membantu menyelesaikan persoalan rakyat. Liga  Mahasiswa Nasdem adalah bagian dari Gerakan Restorasi Indonesia, tulang punggung Partai NasDem untuk bersama-sama memuliakan martabat rakyat Indonesia.
Tunaikan Tugas Suci, Tuntaskan Restorasi!!!

No comments:

Post a Comment